Covid-19 dan Anjloknya Harga Minyak Mentah, Bagaimana Negara-Negara Seharusnya Merespon?

Ridho Afira
4 min readApr 25, 2020

--

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, harga minyak mentah terjun bebas hingga menyentuh posisi negatif.

Untuk acuan, harga minyak mentah berada di angka US$60 per barrel dan per tanggal 21 April 2020, harga minyak turun drastis hingga minus US$37. Hal tersebut disebabkan karena permintaan yang turun secara signifikan sedangkan produksi minyak yang terus berjalan membuat pasokan minyak menjadi penuh. Artinya, justru pembeli yang dibayar oleh produsen untuk mengambil minyak dari pasokan mereka. Praktik ini dinilai lebih murah dibanding menutup aktivitas produksi.

Seperti yang dijelaskan oleh Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, turunnya permintaan akan minyak di pasar sendiri merupakan salah satu efek dari akibat pandemi global Covid-19. Timbulnya kekhawatiran global akibat pandemi tersebut membuat sepertiga dunia memberlakukan lockdown, menutup penerbangan dan beberapa industri sementara, serta membatasi mobilitas massa untuk memutus penyebaran virus.

Pasokan minyak dunia yang berlebih di pasar juga disebabkan perang minyak antara Arab Saudi dan Rusia yang sempat terjadi beberapa waktu lalu. Dengan ditolaknya proposal Arab Saudi untuk mengurangi produksi minyak oleh Rusia, Arab Saudi membalas dengan menambah produksi dan membanjiri pasar minyak sehingga membuat pasokan minyak dunia berlebih di pasar.

Hal tersebut secara tidak langsung telah menunjukkan kegagalan OPEC+ dalam mengelola produksi minyak dunia dan pasokan untuk menjaga harga tetap relatif stabil dikarenakan kepentingan negara-negara di dalam tubuh OPEC+ itu sendiri. Padahal, OPEC+ memang dirancang khusus untuk melakukan tugas tersebut.

Meskipun perang minyak antara Arab Saudi dan Rusia ini sudah berakhir dengan kesepakatan untuk mengurangi produksi minyak hingga 10 juta barel per hari, kesepakatan tersebut baru dapat diberlakukan mulai Mei 2020 dan pengurangan produksi minyak tersebut akan terus dilakukan secara bertahap hingga April 2022, hal tersebut masih belum cukup untuk menaikkan harga minyak agar relatif stabil kembali, sedangkan perkembangan kondisi pandemi global Covid-19 ini masih belum jelas dan akan memperpanjang diberlakukannya lockdown hingga vaksin Covid-19 ditemukan setidaknya akhir tahun ini atau bahkan tahun depan.

Agaknya sampai saat itulah kemungkinan pertumbuhan negara-negara produsen minyak utama, terutama anggota OPEC+, akan lumpuh bersamaan dengan neraca keuangan mereka yang memasuki zona merah.

Para analis memprediksi dengan kondisi seperti ini, jika dalam beberapa minggu ke depan belum ada tempat untuk memasok seluruh kelebihan produksi minyak maka akan berakibat pada lumpuhnya pertumbuhan negara-negara produsen minyak utama, terutama anggota OPEC+ bersamaan dengan neraca keuangan mereka yang memasuki zona merah lebih dalam.

Negara-negara OPEC+ sendiri menghimbau Amerika Serikat (AS) dan produsen lainnya untuk menopang harga dengan melakukan hal yang sama. Namun, para analis melihat bahwa AS cenderung tidak akan mengikuti himbauan tersebut. Hal ini disebabkan karena perang minyak antara Rusia dan Arab Saudi yang telah terjadi sebelumnya sudah sangat merugikan AS. Tentunya dengan kesepakatan kedua negara tersebut untuk mengakhiri perang minyak dapat menjadi kesempatan bagi AS untuk mendominasi pasar global. Selain itu AS juga memiliki sumber ekonomi yang beragam sehingga kerugian di sektor pasar minyak tidak akan separah Arab Saudi dan Rusia.

Meskipun virus corona ini sudah menyebar ke berbagai belahan dunia dan menjadi ancaman bersama, konsep kerja sama internasional terlihat diabaikan dan tiap negara cenderung merespon pandemi ini sendiri-sendiri. Apalagi konsep survival of the fittest (siapa yang kuat dia yang menang) seolah-olah dipertontonkan di situasi seperti ini. Menurut Assisten professor dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Randy Wirasta Nandyatama, hal tersebut dikarenakan informasi yang terbatas dan horizon kalkulasi strategis yang pendek sehingga masing-masing negara tidak ingin mengambil risiko untuk memulai inisiatif kerja sama internasional dalam melawan wabah ini dan lebih memilih untuk memenuhi keamanan diri sendiri.

Terlebih lagi, kebijakan luar negeri AS sebelumnya dapat menggambarkan bagaimana kecenderungan AS untuk mempertahankan dominasi nya dalam global order. Berakhirnya perang minyak antara Rusia dan Arab Saudi pun memberi kesempatan bagi AS untuk menaikkan harga minyak meskipun tidak berarti menaikkan harga minyak global secara keseluruhan agar relatif stabil. AS jelas memiliki posisi yang diuntungkan di situasi seperti ini. Akan tetapi, jika AS memilih untuk tidak melakukan kerjasama internasional atau mengabaikan keberadaan institusi internasional serta mengambil keuntungan sendiri maka akan berakibat fatal sendiri nantinya bagi AS.

Selain itu, terdapat ancaman akan gelombang kedua pandemi yang berisiko lebih besar daripada yang pertama, seperti yang terjadi di AS ketika terkena pandemi flu spanyol tahun 1918. Oleh karena itu, baik untuk kepentingan pribadi dan kemanusiaan, AS harus memimpin negara-negara lain, khususnya negara anggota G-20 untuk memulai inisiatif dalam kerja sama internasional yang terbuka untuk semua negara untuk menangani pandemi global ini.

--

--

Ridho Afira

living in diversity // currently trying to seek which writing style is comfortable for me // engage with me on the other platforms linktr.ee/ridhoafira