Organisatoris Ideal: Urgensi, Tolok Ukur dan Tantangan
Mengikuti sebuah organisasi atau menjadi seorang organisatoris — orang yang berperan aktif dalam organisasi yang diikuti — bukanlah pilihan yang baru yang dipilih oleh seorang individu, khususnya dalam kehidupan bermasyarakat ataupun perkuliahan. Menjadi seorang organisatoris sendiri bukanlah suatu kesalahan karena itu merupakan pilihan pribadi kita setelah berkontemplasi akan kemana tujuan hidup yang ingin kita capai dengan berbagai konsekuensi yang sudah dipikirkan sebelumnya.
Namun, kita dapat melihat berbagai contoh degradasi kualitas dari suatu organisasi. Terkadang kita juga dapat melihat adanya stagnansi dalam jalannya suatu organisasi, khususnya organisasi yang sudah lama berdiri sering mengalami kemandekan atau disorientasi. Tak perlu jauh-jauh ambil saja contoh dari salah satu universitas terbaik di Indonesia, UI (Universitas Indonesia) dimana UI mendapat peringkat keempat dari penilaian Kemenristekdikti, di bawah ITB, UGM, dan IPB pada tahun 2019. Kriteria yang dijadikan acuan penilaiannya adalah kualitas sumber daya manusia, kualitas manajemen, kualitas kegiatan kemahasiswaan, dan kualitas penelitian dan publikasi ilmiah. Penulis pun melihat adanya degradasi tersebut dikarenakan kegiatan kemahasiswaannya yang tidak sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang seharusnya dijadikan landasan utama oleh mahasiswa untuk mengadakan kegiatan kemahasiswaan di kampus. Tri Dharma Perguruan Tinggi ini sendiri berdasarkan pada UURI Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, yang mengatakan bahwa kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan, penelitian, dan pengabdian ke masyarakat merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh Perguruan Tinggi. Sebab dari turunnya kualitas kegiatan kemahasiswaan tersebut adalah karena acara kampus yang terlalu banyak dan hanya bertujuan untuk menurunkan dana dari rektorat. Umumnya acara tersebut tidak memiliki urgensi yang berkaitan dengan Tridharma Perguruan Tinggi tersebut, dan tidak well-executed. Hal tersebut tentunya sangat miris jika kita melihat bagaimana sulitnya kepengurusan dari BEM dan juga kepanitiaan yang telah mempersiapkan acara tersebut sampai harus mengorbankan waktu untuk mengerjakan tugas kampus, kelas, bahkan sekedar waktu senggang bersama keluarga.
Terkadang juga masih banyak kita lihat acara di kampus yang memakai pola pikir untuk membuat acara sebanyak-banyaknya hanya untuk memperlihatkan eksistensi dari organisasi tersebut atau sekedar memenuhi kewajiban dari kepengurusan, bukan karena substansi maupun urgensi dari acara tersebut yang harusnya berkaitan dengan visi dari organisasi maupun Tri Dharma Perguruan Tinggi tadi. Kesalahan yang telah dijabarkan di atas hanya sebuah contoh, karena bagaimanapun tujuan dan kepentingan suatu organisasi direfleksikan dari visi organisasi itu masing-masing. Dan bagaimana keseriusan organisatoris terhadap visi organisasinya sendiri direfleksikan dari output apa saja yang telah dihasilkan oleh organisasi tersebut. Merupakan pilihan masing-masing visi ini akan dibawa kearah mana. Untuk apa menjadi pengurus BEM kampus jika kita sendiri tidak setuju dengan visi dari BEM itu sendiri? — menjadi humas dan event organizer dari rektorat — misalnya.
Banyak pertanyaan yang mungkin akan muncul ketika kita memilih untuk menjadi seorang organisatoris. Seperti bagaimana pemahaman kita mengenai organisasi, apa yang dimaksud organisatoris, urgensi menjadi seorang organisatoris, tantangan apa yang akan dihadapi ketika mengurus suatu organisasi sampai tolak ukur seseorang dapat dikatakan sebagai organisatoris yang ideal. Organisasi sendiri adalah suatu perkumpulan individu-individu yang telah dibentuk dalam sebuah kelompok yang bertugas untuk bekerjasama demi mencapai keberhasilan dan tujuan bersama. Sedangkan organisatoris adalah individu yang berperan aktif dalam organisasi yang ia ikuti.
Lalu mengapa seorang individu memilih untuk menjadi seorang organisatoris? Pertanyaan tersebut haruslah dikaji secara kritis. Sebagai seorang manusia, tentunya kita akan mendapat berbagai permasalahan dalam kehidupan di berbagai sektor seperti sosial, kerja, finansial, akademik, dsb. Penulis sepakat dengan sebuah aksioma yang mengatakan semakin banyak masalah yang pernah dihadapi oleh individu, akan semakin baik individu tersebut mengatasinya dibanding individu yang baru mengalami masalah tersebut untuk pertama kalinya. Karena sebagai manusia, kita selalu belajar untuk refleksi dan evaluasi terhadap masalah yang pernah dihadapi sebelumnya. Sebagai manusia, kita dituntut untuk selalu belajar dalam menghadapi permasalahan di kehidupan dimanapun tempatnya. Masuk dan mengurus suatu organisasi merupakan tempat dimana kita akan menemukan berbagai permasalahan tersebut, dan menjadi wadah dimana kita belajar untuk memanajemen berbagai macam konflik yang kita hadapi, menyalurkan bakat dan mengembangkan kreativitas. Kita dapat mendapatkan berbagai macam soft skills yang dibutuhkan nantinya yang tentunya berguna untuk fase kehidupan sebelumnya. Organisasi memang bukanlah satu-satunya tempat untuk belajar hal-hal tersebut, tetapi dapat menjadi salah satu wadah terdekat yang dapat dimanfaatkan untuk itu. Organisasi dapat menjadi tempat dimana kita berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain, mengembangkan berbagai macam ide dan pikiran serta ilmu sehingga ilmu yang didapat tidak hanya berhenti di ruang kelas. Hal tersebut mungkin merupakan jawaban umum dari banyak orang jika ditanya alasannya masuk organisasi. Namun menurut penulis sendiri, masuk organisasi memiliki hal yang lebih dari itu. Yaitu bagaimana untuk menurunkan ego, mengorbankan waktu dan tenaga, serta bekerja secara ikhlas. Hal-hal di atas perlu diikuti pula oleh tujuan dari kehidupan yang telah kita tentukan.
Lalu apa yang membuat seorang organisatoris berbeda dengan individu lainnya. Di lingkaran terdekat penulis sendiri, pilihan yang paling sering dibandingkan adalah antara organisatoris, akademisi, dan aktivis. Terlebih dahulu, perlu kita catat bahwa tidak ada gunanya untuk membandingkan ketiga hal tersebut jika tujuannya untuk membuat diri sendiri lebih superior dan mendiskreditkan orang lain hanya karena memilih jalan yang berbeda.
Seberapa banyak prestasi, pengalaman organisasi, maupun aktivitas advokasi yang ada di CV kita, pada akhirnya kita akan tetap menjual diri di pasar kerja akibat tingginya kompetisi di era globalisasi saat ini bukan? Tujuan setiap individu berbeda-beda dan alangkah baiknya jika kita lebih banyak berpikir, membaca, berdiskusi, dan melakukan gerakan emansipasi serta peduli terhadap pemberdayaan masyarakat di akar rumput dibanding mendiskreditkan satu sama lain demi persaingan siapa yang lebih baik untuk bisa diterima di dunia kerja.
Mempersiapkan diri untuk dunia kerja bukanlah suatu hal yang salah, namun terbuka terhadap jalan yang telah diambil orang lain tentunya merupakan hal lain yang penting untuk diingat. Terlebih di era globalisasi ini kita sama-sana sepakat persaingan di dunia kerja sangatlah tinggi.
Menjadi seorang organisatoris tidak hanya sekedar mengembangkan soft skill, atau menjalankan proker-proker yang ditentukan. Disitu kita dapat lebih membuka pikiran dan bekerja sama dengan orang-orang yang memiliki latar belakang yang berbeda demi tujuan dan visi dari organisasi. Seorang organisatoris juga belajar untuk meregenerasi keanggotaannya, menyampaikan visi dan nilai-nilai yang perlu disampaikan terhadap calon anggota selanjutnya demi keberlanjutan organisasi dan hal tersebut membutuhkan suatu pemahaman tersendiri mengenai nilai-nilai dari organisasi yang tidak semua orang dapat lakukan. Menjadi seorang organisatoris juga tentunya mendapatkan skill leadership yang diajarkan dalam setiap kegiatannya, dan dituntut untuk selalu menerapkan nilai kepemimpinan tersebut baik sebagai pemimpin maupun sebagai anggota. Karena banyak organisatoris saat ini yang mabuk akan leadership hingga lupa untuk menjadi seorang follower.
Kembali ke pernyataan awal mengapa banyak ditemukan organisasi yang berjalan mandek dan terdapat disorientasi serta kemunduran, hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal yang tentunya dapat menjadi refleksi bagi kita semua. Yang pertama, anggota-anggotanya yang senantiasa membiarkan diri berada dalam zona nyaman karena mabuk akan kesuksesan dan pencapaian yang sudah didapat oleh kepengurusan sebelumnya, sehingga organisasi tersebut tidak lagi berbenah dan progresif. Yang kedua, diremehkannya kekuatan dari visi suatu organisasi. Akibatnya visi hanya dianggap sebagai formalitas belaka dan mengakibatkan adanya disorientasi terhadap jalannya kepengurusan. Hal tersebut juga membuat banyak program kerja tidak memiliki substansi yang tepat dalam menyampaikan nilai-nilai dari organisasi. Hal tersebut terkadang juga mengakibatkan visi tidak dikomunikasikan dengan baik kepada setiap elemen yang terdapat di organisasi. Dan yang ketiga, gagalnya penerapan perubahan ke dalam budaya organisasi. Dalam setiap organisasi, memang perlu adanya kegiatan yang sejalan dengan tradisi dari organisasi. Namun perlu juga adanya pembaharuan terhadap budaya organisasi tersebut sehingga tidak terjadi stagnansi di dalamnya.
Hal di atas menjadi pelajaran dan perlu adanya evaluasi yang perlu dilakukan agar sebuah organisasi dapat menjadi lebih baik. Untuk itu dibutuhkannya sosok organisatoris yang ideal dan dapat memegang peranan penting serta aktif dan memiliki kepentingan untuk membesarkan organisasi tersebut. Menurut penulis, organisatoris yang ideal tersebut haruslah memiliki jiwa militant dalam mencapai tujuan organisasi. Dengan adanya jiwa militan akan menghadirkan niat dan komitmen seorang organisatoris terhadap tujuan organisasi yang tentunya sejalan dengan sebuah proverb dalam bahasa inggris, “when there is a will, there is a way”. Yang kedua, sosok ini harus memiliki intelektualitas untuk dapat memecahkan permasalahan, terutama tantangan-tantangan yang penulis sebutkan sebelumnya, maupun tantangan lainnya yang akan datang di sepanjang kepengurusan. Yang ketiga, memiliki sikap kreatif dan inovatif. Dengan adanya sikap kreatif, seorang organisatoris dapat mewujudkan program kerja yang sesuai dengan visi dari organisasinya dengan baik, dan dengan sikap inovatif program kerja tersebut dapat terlihat menarik dan membuat target peserta dari program kerja tersebut berpartisipasi sehingga visi dari organisasi tersebut dapat tersampaikan dengan baik. Yang terakhir, tentunya sikap generatif dimana seorang organisatoris dapat menyalurkan ilmunya terhadap anggota baru. Hal ini penting untuk regenerasi dari suatu organisasi. Seorang organisatoris perlu memahami bagaimana anggota barunya mendapatkan nilai-nilai yang dibutuhkan dan memberdayakan anggota baru tersebut di sepanjang kepengurusan agar organisasi tersebut dapat sustain.
Mengurus organisasi merupakan pilihan. Menjadi seorang organisatoris yang ideal — sosok yang diandalkan untuk dapat menggerakkan organisasi — juga tidak diharuskan. Melainkan datang dari diri sendiri. Hal tersebut perlu diikuti dengan self-motivation yang kuat untuk bergerak dan keikhlasan dalam bekerja. Bukan hanya sekedar ikut-ikutan untuk memenuhi ekspektasi para senior dan predecessor. Jika dalam menjalankan organisasi saja tidak sesuai dengan tujuan kita, maka pada akhirnya akan menjadi beban dan akan berdampak buruk tidak hanya ke diri sendiri namun juga elemen-elemen lain terutama yang ada di organisasi.